Senin, 15 Juni 2015

SELULOSA : Profil, Sintesis, dan Prospek Aplikasi di Bidang Biomedis

SELULOSA :
Profil, Sintesis, dan Prospek Aplikasinya di Bidang Biomedis dalam Rekayasa Biomedis sebagai Substituen Biokompatibel Pembuluh Darah Arteri


Rizky Arief Shobirin
1. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
2. Pusat Studi Peradaban,

Universitas Brawijaya, Jl. Veteran 01 Malang, Jawa Timur, Indonesia, 65100



Selulosa merupakan biopolimer yang sangat berlimpah keberadaannya di alam. Biopolimer tersebut dapat diperbarui, biodegradable, dan juga tidak toksik. Selulosa yang merupakan polimer sakarida mempunyai struktur yang teratur dan rapat, namun memiliki sifat biocompatible dengan jaringan mahluk hidup. Keberadaan selulosa di alam terkandung sebanyak 50% pada serat pohon, dan 90% terkandung pada kapas [1].

Penggunaan selulosa sangat banyak digunakan pada beberapa industri kertas, meubel berbahan dasar kayu, serta tekstil, yang saat ini menjadi kebutuhan vital di berbagai negara [2-3]. Pada perkembangan saat ini, selulosa banyak diaplikasikan dalam beberapa kasus di bidang biomedis, sebagai contoh dalam penggunaan selulosa sebagai fasilitator dalam regenrasi jaringan sel yang terluka disebabkan oleh tersayat atau terbakar. Selain itu, selulosa kerap digunakan dalam bidang farmasi, antara lain sebagai material pelapis pada obat, koagulan darah, adiktif pada produk farmasi, material pendukung pada amobilisasi enzim, membran ginjal buatan, serta material implantasi jaringan tubuh. Aplikasi selulosa di bidang biomedis sangat disarankan karena dalam beberapa penelitian dijelaskan bahwa selulosa memiliki sifat tertoleransi oleh sel tubuh manusia dalam aplikasinya [2].


Sintesis Selulosa

Selulosa dapat disintesis dengan beberapa reaksi kimia dengan menghasilkan turunan senyawa yang berbeda. Perbedaan tersebut menentukan struktur dan sifat yang sedikit berbeda, serta tinjauan dari sisi ekonomi serta aplikasi selulosa pada bidang yang berbeda.

Gambar 1. Skema sintesis oksiselulosa [4], dikutip dengan ijin The McGraw-Hill Companies (copyright 2004)

Selulosa dapat dibuat melalui proses oksidasi menjadi oksiselulosa, dengan senyawa awal berupa residu glukosa dengan gugus alkohol, kemudian dioksidasi menjadi gugus karboksil (gambar 1) [1],[4]. Sebagai contoh, salah satu produk hasil sintesisnya yaitu poliselulosabiuronida anhidrad (polyanhydrocellobiuronide), yang mana turunan selulosa dengan gugus karboksil tersebut memiliki sifat rapuh dan mudah terlarut dalam air. Maka dari itu, target utama sintesis dari turunan selulosa tersebut adalah dengan kandungan gugus karboksil yang rendah [1].

Salah satu proses sintesis selulosa secara kimia yang sering digunakan dalam proses fabrikasi material berbasis selulosa yaitu proses esterifikasi, yang mana reaksi kesetimbangan tersebut terjadi pada alkohol dengan asam membentuk ester. Turunan selulosa tersebut diesterifikasi dari asam anorganik maupun asam karboksilat, seperti asam asetat, asam sulfat, dan asam fosfat. Gugus asam tersebut dapat terikat hingga pada serat bagian dalam dari struktur selulosa. Sebagai contoh selulosa asetat ptalat, yang merupakan ester asetat parsial dari selulosa yang bereaksi dengan asam ptalat anhidrat, terjadi esterifikasi dan dihasilkan varian produk yang dihasilkan sekitar 35% dengan gugus ptalat dan 20% dengan gugus asetil [1].

Selulosa mikrokristalin termurnikan, atau MCC (Purified Microcrystalline Cellulose) secara parsial dilakukan depolimerisasi dengan pengkondisian α-selolusa, yang didapat dari serat tanaman, dengan asam mineral. MCC tersilikasasi dibuat dengan pengeringan awal dari suspensi partikel MCC dengan SiO2 yang menghasilkan selulosa yang terikat dengan SiO2. SMCC memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan MCC dikarenakan adanya interaksi permukaan antara selulosa dengan SiO2 [1].

Selain proses sintesis selulosa secara kimia dan pemurnian, selulosa juga didapat melalui proses biosintesis, baik dengan batang stem cell (batang tumbuhan), maupun dengan mikro alga atau bakteri, yang biasa disebut dengan bacteria cellulose. Kedua proses tersebut menghasilkan struktur yang berbeda, dengan perbedaan posisi ikatan hidrogen, gaya van der Waals, stabilitas serta kerapatan struktur yang dihasilkan [1].


Struktur Selulosa

Selulosa merupakan makromolekul, dideskripsikan oleh Bera, et.al. [5] sebagai makromolekul, polimer dengan rantai tak bercabang dari β-(1-4)-glukosa, yang sangat sering ditemui keberadaannya pada dinding sel jaringan dari tumbuhan (gambar 2). Selulosa memiliki banyak variasi struktur berdasarkan proses sintesis serta gugus fungsi yang menyertai dalam polimer glukosa, sebagai contoh gugus asetat dalam selulosa asetat, gugus karboksilat dalam selulosa karboksilat. Dalam penentuan struktur selulosa dengan derivatnya ditentukan melalui metode analisis dengan dasar penggunaan sinar sinar-X, seperti difraksi sinar-X (XRD), X-Ray Synchontron (XRS), serta berbasis mikroskopik seperti Scanning maupun Transmission Electron Microscopy (SEM, TEM).


Gambar 2. Struktur selulosa [4], dikutip dengan ijin The McGraw-Hill Companies (copyright 2004).

Gambar 3. Unit sel selulosa yang digambarkan secara transformasi sederhana oleh Sponsler dan Dore (1926) dalam Zugenmaier [9], dikutip dengan ijin Springer (copyright material 2008)


Struktur selulosa yang merupakan polisakarida dengan rantai linier, memiliki struktur kristal yang berbeda dari hasil sintesis secara kimia, biosintesis pada dinding sel tumbuhan (Iα) serta hasil biosintesis oleh alga dan bacterial cellulose pada dinding selnya (Iβ), sebagai contoh Acetobacter xylinum [6]. Sebelumnya Sponsler dan Dore (1926), dalam Zugenmaier [9], menerangkan secara sederhana terkait kesamaan struktur antara selulosa pada dinding sel dengan hasil biosintesis oleh mikroalga maupun bakteri, dengan struktur yang tersaji pada gambar 3. Namun beberapa ilmuwan lainnya memberikan justifikasi terkait antara perbedaan proses sintesis dengan bentuk struktur yang berbeda. Iα memiliki fase kristal satu-rantai triclinic dengan unit sel P1, dengan panjang unit sel a = 6.717Å,  b = 5.962 Å,  c = 10.400 Å, sudut unit sel  α = 118.08°,  β = 114.80°, dan  γ = 80.37°. Iβ memiliki fase kristal dua-rantai monoclinic dengan unit sel P21, dengan panjang unit sel a = 7.784Å, b = 8.201 Å, c = 10.38 Å, sudut unit sel α =  β = 90°, dan γ = 96.5°. Pada kedua fase tersebut, secara keseluruhan selulosa Iα dan Iβ memiliki kesamaan yaitu adanya ikatan hidrogen yang tertumpuk pada bagian atas dari tiap selulosa melalui interaksi hidrofobik [6-8]. Melalui hasil analisa XRD, pada Iα ditemukan lattice planes [1 0 0], [0 1 0], dan [1 1 0] yang menunjukkan struktur kristal triclinic, dan pada Iβ ditemukan lattice planes [1 -1 1], [1 1 0], dan [2 0 0] yang menunjukkan struktur kristal monoclinic, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Skema respresentatif suatu unit sel dari (a) selulosa Iα dengan struktur kristal triclinic, dan (b) selulosa Iβ dengan struktur kristal monoclinic. Perbedaan struktur kristal tersebut menujukkan adanya perbedaan ikatan hidrogen pada masing-masing turunan selulosa [7-8], dikutip dan dimodifikasi dengan ijin InTech, Ltd. (copyright 2013).


Gambar 4 menunjukkan adanya ikatan hidrogen yang berbeda pada struktur selulosa triclinic pada Iα dan monoclinic pada Iβ. Posisi ikatan hidrogen intra- atau inter-chain dengan gugus hidroksil sangat dimungkinkan berada di [1 1 0] pada struktur triclinic, dan [2 0 0] pada struktur monoclinic, yang sering disebut sebagai ikatan hidrogen planar. Selain itu, selulosa juga ditemukan adanya interaksi gaya kohesi dalam selulosa melalui gaya van der Waals, yang dimungkinkan berada pada titik [0 1 0] dan [1 0 0] pada struktur triclinic, serta [1 1 0] dan [1 -1 0] pada struktur monoclinic.

Gambar 5. Perbedaan kerapatan selulosa Iα dan Iβ yang dimungkinkan adanya perbedaan posisi ikatan hidrogen pada struktur yang triclinic dan monoclinic [4-5]. Gambar ini disunting dan dimodifikasi dengan ijin International Union of Crystallography (copyright 2008), dan Springer (copyright 2008).

Perbedaaan struktur, kohesi gaya van der Waals, serta posisi terjadinya ikatan hidrogen, memberikan properties yang berbeda antara selulosa Iα dan Iβ. Pada selulosa Iα, ikatan hidrogen lemah yang tersedia pada struktur triclinic lebih banyak dibandingkan pada selulosa Iβ dengan struktur monoclinic. Banyaknya ketersediaan ikatan hidrogen lemah pada selulosa Iα menunjukkan tingkat stabilitasnya lebih rendah daripada selulosa Iβ. Selain itu, keberlimpahan ikatan hidrogen pada selulosa Iα menyebabkan tingkat tingkat stabilitas termal yang rendah, mengingat ikatan gidrogen mudah terdegradasi pada suhu rendah [7-8]. Beberapa hal tersebut tentunya mempengaruhi kerapatan struktur selulosa yang dihasilkan (gambar 5). Melalui studi literatur tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa selulosa Iβ dengan struktur monoclinic yang dihasilkan dari proses biosintesis oleh mikro-alga maupun bakteri, memiliki tingkat stabilitas fisik dan termal yang lebih tinggi, sehingga lebih potensial diterapkan dalam fabrikasi biomaterial berbasis selulosa pada aplikasi di bidang medis.

Pada proses fabrikasi selulosa, dalam menghasilkan morfologi struktur yang diharapkan kerap kali dilakukan proses doping oleh senyawa lainnya, sebagai contoh CA-TEC (cellulose acetat-triethyl citrate). Zepnik, et.al. melakukan eksperimen dengan prosedur fabrikasi tersebut dimulai dengan proses penyaringan material awal CA dan TEC terlebih dahulu, kemudian dilakukan penataan variasi komposisi dengan cara diinjeksikan TEC ke dalam CA sehingga terjadi pelapisan TEC pada CA. Variasi komposisi yang digunakan mempengaruhi morfologi struktur selulosa hasil fabrikasi (CA-TEC), sebagaimana ditunjukkan pada gambar 6.

Gambar 6. Pengaruh rasio ekspansi (atas) dan morfologi (bawah) CA dengan variasi komposisi TEC (a) 15 wt %, (b) 20 wt %, dan (c) 25 wt % [10], dikutip dengan ijin  Multidisciplinary Digital Publishing Institute (copyright 2013).

Morfologi CA (gambar 6) menunjukkan adanya perbedaan yang cukup signifikan antara penggunaan TEC 20 wt % dengan 25 wt%, yang mana penggunaan TEC lebih banyak menyebabkan terbentuknya pori-pori pada CA lebih lebar. Hal tersebut tentunya mempengaruhi kekuatan polimer dan viskositas dari polimer CA, yang mana penggunaan diatas 20 wt % dapat menyebabkan penurunan tingkat viskositas dan kekuatan dari polimer CA. Sehingga dalam penggunaan TEC dalam proses fabrikasi CA-TEC diperoleh konsentrasi optimum 20%.


Aplikasi Selulosa di Bidang Biomedis

Substituen Pembuluh Darah Arteri Kecil


Penyakit arteosklerotis kardiovaskuler, atau biasa disebut dengan penyakit jantung, merupakan penyebab kematian terbesar di dunia. Beberapa upaya pengobatan penyakit tersebut, salah satunya melalui operasi, telah dilakukan dengan cara mengganti pembuluh darah yang pecah dengan serat sintetis. Beberapa bahan dasar yang digunakan yaitu berbasis PET (polyethylene terephthalate) yang disebut Dacron, dan PTFE (polytetra-flouroethylene) yang disebut Teflon [11]. Namun, kedua serat sintesis tersebut masih belum diterima secara klinis dalam penerapan rekonstruksi pembuluh darah arteri kecil, karena serat sintetis tersebut merupakan benda asing dan akan mengalami penolakan yang ditandai dengan munculnya trombosis pada permukaan luminal yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, sehingga darah tidak dapat mengalir [12]. Dari kasus tersebut, maka dilakukan fabrikasi substituent pembuluh darah arteri berbahan dasar selulosa yang biocompatible, lentur dan dapat menyesuaikan denyut nadi pembuluh darah, tahan pada tekanan tinggi, struktur jaringan yang nanofibril, serta serat tersebut mengandung air yang membuatnya fleksibel.

Gambar 7. Proses fabrikasi BC (bacterial cellulose) dalam bentuk substituen pembuluh darah arteri [13], dikutip dengan ijin Elsevier (copyright 2009).

Fabrikasi substituen pembuluh darah arteri berbasis selulosa dilakukan melalui proses biosintesis selulosa oleh bakteri Acetobacter xylinum dalam jumlah sedikit dengan air sekitar 99%, selama beberapa hari. Bakteri tersebut mengekskresikan sakarida dalam bentuk polimer menjadi selulosa dengan struktur yang lebih teratur dan rapat dibandingkan hasil sintesis secara kimia. BC (Bacterial Cellulose) dalam bentuk substituent pembuluh darah arteri dicetak dalam matriks melingkar yang diatur dengan diameter dan panjang tertentu, menyesuaikan ukuran pembuluh darah arteri yang akan disubsitusi dalam proses operasi, sebagaimana tersaji pada gambar 7. Dalam pengaturan ruang substituent tersebut dapat menggunakan parafin, yang setelah pemakaiannya dibilas dan dilakukan sterilisasi menggunakan NaOH konsentrasi rendah, lalu ditempatkan pada autoclave selama beberapa menit, yang akhirnya disimpan dalam Ringer’s solution untuk menjaga sterilitas BC tersebut hingga digunakan dalam proses operasi [13].

Percobaan operasi substitusi pembuluh darah arteri kecil dilakukan pada babi dengan prosedur yang dilakukan sesuai standar yang disetujui oleh Animal Care and Use Committee of the Friedriche - Schiller University, dengan analisa pasca operasi terkait inflamasi kronis, respon sel terhadap BC substituen pembuluh darah arteri, serta pertumbuhan sel serta perubahan diameter substituen. Selama proses operasi substitusi pembuluh darah arteri kecil, tidak dilakukan prosedur pre-treatment dan dilakukan proses implantasi, sebagaimana tersaji pada gambar 8. Pasca operasi, babi dilepaskan hidup hingga sekitar 3 bulan, kemudian dilakukan analisa medis pasca operasi yang dipaparkan sebelumnya.

Gambar 8. Substitusi pembuluh darah arteri kecil oleh BC transplantasi, yang telah terjahit dengan 7/0 monofilamen Prolene [13]. Struktur selulosa yang terbentuk memiliki kerapatan dan keteraturan yang tinggi (dalam bentuk pembuluh darah arteri kecil) (inset), dikutip dan dimodifikasi dengan ijin Elsevier (copyright 2009).

Hasil operasi pada beberapa babi sebagai percobaan (hingga 3 bulan pasca operasi), tidak ada babi yang mati dikarenakan mengalami kegagalan operasi serta adanya reaksi penolakan terhadap BC transplantasi. Semua babi tetap hidup. Dari hasil analisa 3 bulan pasca operasi, tidak ditemukan adanya penolakan, penyumbatan, serta kebocoran pada polimer BC transplantasi, sehingga tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan dari denyut aliran darah. Analisa secara histologi pada BC transplantasi yang telah diimplantasi, tidak ditemukan adanya gumpalan dan pendarahan pada serat selulosa maupun titik jahitan, serta tidak ada perbedaan signifikan dari diameter BC transplantasi dari pra dan pasca operasi.


Gambar 9. Histologi BC graft 3 bulan pasca operasi, (a) arteri kontrol (tanpa implantasi BC graft), (b) implantasi BC graft pada arteri, yang menunjukkan infiltrasi limfosit secara halus (arah panah), dan (c) fragmen selulosa masih terlihat, yang menunjukkan bahwa selulosa tidak terdegradasi pada organisme manusia [13], dikutip dengan ijin Elsevier (copyright 2009).


Gambar 10. Pengamatan arteri terimplantasi dengan BC graft dengan perbesaran (b) 16x, dan (c) 19x. Hampir tidak ditemukan perbedaan antara arteri terimplantasi (b dan c) dengan (a) arteri kontrol [13], dikutip dengan ijin Elsevier (copyright 2009).

Evaluasi dari hasil implantasi BC graft pada arteri yaitu tidak ditemukan proliferasi pada sel terinfeksi, dan tidak terurai secara metabolisme pada tubuh babi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 9. Selain itu, proses endotelialisasi di dalam BC graft berjalan secara halus (gambar 10), dan hampir tidak ada perbedaan dengan arteri kontrol yang tidak dilakukan implantasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya tanda-tanda trombosis pada arteri terimplantasi dan menunjukkan adanya regenerasi sel in-situ dengan baik. Berdasarkan data hasil analisa dan evaluasi tersebut, maka tingkat penerimaan paten pada percobaan ini yaitu 87,5%.

Melalui hasil penerapan pada operasi bedah implantasi arteri oleh BC graft menujukkan bahwa selulosa sangat prospek sebagai substituen arteri untuk mengobati penyakit jantung yang sering diakibatkan karena adanya pendarahan, penyumbatan pembuluh darah, dengan proses yang lebih terpercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, diperlukan penerapan lebih lanjut pada organisme tubuh manusia untuk mengetahui dampak kesehatan secara realita hingga pasca operasi.

Kesimpulan
            Selulosa dapat diperoleh dari berbagai proses sintesis, baik secara kimia, maupun secara biologi, dengan dihasilkan variasi senyawa turunan selulosa dengan struktur dan karakter yang berbeda. Namun berdasarkan penelusuran karakter masing-masing derivat tersebut, selulosa Iβ atau kerap disebut bacterial cellulose (BC) memiliki karakter paling potensial dengan kerapatan struktur tertinggi, kestabilan fisik dan termal terkuat, serta memiliki elastisitas yang baik untuk aplikasi dalam bidang medis. Pada aplikasi biomedis sebagai substituen pembuluh darah arteri, selulosa jenis BC sangat aplikatif dikarenakan sifat materialnya yang biokompatible, elastis, tidak menunjukkan adanya tolakan dari organisme sel, serta keteraturan dan kerapan struktur yang tinggi. Dalam aplikasi lebih lanjut, dapat dikembangkan penerapan pada organ tubuh mamalia serta manusia sebagai biomaterial terbaru yang paling potensial sebagai subtituen pembuluh darah dalam proses pembedahan.



Further Reading

  1. Ha, T. L. B., Quan, T.M., Vu, D. N., Si, D. M., “Naturally Derived Biomaterials : Preparation and Application”, Regenerative Medicine and Tissue Engineering, 2013, Chapter 11, 247-274.
  2. Tommila, M., Jokilammi, A., Penttinen, R., Ekholm, E., “Cellulose - A Biomaterial with Cell-Guiding Property”, Cellulose – Medical, Pharmaceutical and Electronic Applications, 2013, Chapter 5, 83-104.
  3. Peng, B. L., Dhar, N., Liu, H.L., Tam, K. C., “Chemistry and Applications of Nanocrystalline Cellulose and its Derivatives: a Nanotechnology Perspective”, Can. J. Chem. Eng., 2011, 9999, 1-16.
  4. Batich, C., Leamy, P., “Biopolymers”, Standard Handbook of Biomedical Engineering and Design, 2004, Chapter 11, 11.1-11.30.
  5. Bera, A.K., Bandyodhyay, S., Sen, S. K., Ghosh, S., Banerjee, A., “Structural Quality Assessment of Different Cellulosic Jute Fibres by X-Ray Diffraction”, Indian J., Fibre Textile Res., 2000, 27, 65-71.
  6. Wada, M., Nishiyama, Y., Chanzy, H., Forsyth, T., Langan, P., “The Structure of Celluloses”, JCPDS-International Centre for Diffraction Data, 2008, 11, 138-144.
  7. Quiroz-Castaňeda, R. E., Folch-Mallol, J. L., “Hydrolysis of Biomass Mediated by Cellulases for the Productions of Sugars”, Sustainable Degradation of Lignocellulosic Biomass - Techniques, Applications and Commercialization, 2013, Chapter 6, 6.1-6.18.
  8. Poletto, M., Pistor, V., Zattera, A. J., “Structural Characteristics and Thermal Properties of Native Cellulose”, Cellulose - Fundamental Aspects, 2013, Chapter 2, 2.1-2.13.
  9. Zugenmaier, P., “Crystalline Cellulose and Cellulose Derivates”, Springer : Series in Wood Science, 2008, Germany : pp. 1-281.
  10. Zepnik, S. Kabasci, S., Kopitzky, R., Radusch, H. J., Wodke, T., “Extensional Flow Properties of Externally Plasticized Cellulose Acetate: Influence of Plasticizer Content”, Polymer, 2013, 5, 873-889.
  11. Langer, R., Vacanti, J.P., “Tissue Engineering”, Sci., 1993, 260, 920-926.
  12. Voorhees, A.B., Jaretski, A., Blakemore, A.H., “The Use of Tubes Constructed from ‘Vinyon’ N Cloth in Bridging Arterial Defects”, Ann. Surg. 1952, 135, 332-336.
  13. Wippermann, J., Schumann, D., Klemm, D., Kosmehl, H., Salehi-Gelani, S., Wahlers, T., “Preliminary Results of Small Arterial Substitute Performed with a New Cylindrical Biomaterial Composed of Bacterial Cellulose”, Eur. J. Vasc. Endovasc. Surg., 2009, 37, 592-596.