SELULOSA :
Profil,
Sintesis, dan Prospek Aplikasinya di Bidang Biomedis dalam Rekayasa Biomedis sebagai Substituen
Biokompatibel Pembuluh Darah ArteriRizky Arief Shobirin
1. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
2. Pusat Studi Peradaban,
Universitas Brawijaya, Jl. Veteran 01 Malang, Jawa Timur, Indonesia, 65100
Selulosa merupakan biopolimer yang sangat
berlimpah keberadaannya di alam. Biopolimer tersebut dapat diperbarui, biodegradable, dan juga tidak toksik. Selulosa
yang merupakan polimer sakarida mempunyai struktur yang teratur dan rapat,
namun memiliki sifat biocompatible
dengan jaringan mahluk hidup. Keberadaan selulosa di alam terkandung sebanyak
50% pada serat pohon, dan 90% terkandung pada kapas [1].
Penggunaan selulosa sangat banyak digunakan pada
beberapa industri kertas, meubel berbahan dasar kayu, serta tekstil, yang saat
ini menjadi kebutuhan vital di berbagai negara [2-3]. Pada perkembangan saat
ini, selulosa banyak diaplikasikan dalam beberapa kasus di bidang biomedis,
sebagai contoh dalam penggunaan selulosa sebagai fasilitator dalam regenrasi jaringan
sel yang terluka disebabkan oleh tersayat atau terbakar. Selain itu, selulosa
kerap digunakan dalam bidang farmasi, antara lain sebagai material pelapis pada
obat, koagulan darah, adiktif pada produk farmasi, material pendukung pada
amobilisasi enzim, membran ginjal buatan, serta material implantasi jaringan
tubuh. Aplikasi selulosa di bidang biomedis sangat disarankan karena dalam
beberapa penelitian dijelaskan bahwa selulosa memiliki sifat tertoleransi oleh
sel tubuh manusia dalam aplikasinya [2].
Sintesis Selulosa
Selulosa dapat disintesis dengan beberapa reaksi
kimia dengan menghasilkan turunan senyawa yang berbeda. Perbedaan tersebut
menentukan struktur dan sifat yang sedikit berbeda, serta tinjauan dari sisi
ekonomi serta aplikasi selulosa pada bidang yang berbeda.
Gambar 1. Skema sintesis oksiselulosa [4],
dikutip dengan ijin The McGraw-Hill Companies (copyright 2004)
Selulosa dapat dibuat melalui proses oksidasi
menjadi oksiselulosa, dengan senyawa awal berupa residu glukosa dengan gugus
alkohol, kemudian dioksidasi menjadi gugus karboksil (gambar 1) [1],[4].
Sebagai contoh, salah satu produk hasil sintesisnya yaitu poliselulosabiuronida
anhidrad (polyanhydrocellobiuronide),
yang mana turunan selulosa dengan gugus karboksil tersebut memiliki sifat rapuh
dan mudah terlarut dalam air. Maka dari itu, target utama sintesis dari turunan
selulosa tersebut adalah dengan kandungan gugus karboksil yang rendah [1].
Salah satu proses sintesis selulosa secara kimia
yang sering digunakan dalam proses fabrikasi material berbasis selulosa yaitu
proses esterifikasi, yang mana reaksi kesetimbangan tersebut terjadi pada
alkohol dengan asam membentuk ester. Turunan selulosa tersebut diesterifikasi
dari asam anorganik maupun asam karboksilat, seperti asam asetat, asam sulfat,
dan asam fosfat. Gugus asam tersebut dapat terikat hingga pada serat bagian
dalam dari struktur selulosa. Sebagai contoh selulosa asetat ptalat, yang
merupakan ester asetat parsial dari selulosa yang bereaksi dengan asam ptalat
anhidrat, terjadi esterifikasi dan dihasilkan varian produk yang dihasilkan
sekitar 35% dengan gugus ptalat dan 20% dengan gugus asetil [1].
Selulosa mikrokristalin termurnikan, atau MCC (Purified Microcrystalline Cellulose)
secara parsial dilakukan depolimerisasi dengan pengkondisian α-selolusa, yang didapat
dari serat tanaman, dengan asam mineral. MCC tersilikasasi dibuat dengan
pengeringan awal dari suspensi partikel MCC dengan SiO2 yang
menghasilkan selulosa yang terikat dengan SiO2. SMCC memiliki berat
jenis yang lebih tinggi dibandingkan MCC dikarenakan adanya interaksi permukaan
antara selulosa dengan SiO2 [1].
Selain proses sintesis selulosa secara kimia dan
pemurnian, selulosa juga didapat melalui proses biosintesis, baik dengan batang
stem cell (batang tumbuhan), maupun
dengan mikro alga atau bakteri, yang biasa disebut dengan bacteria cellulose. Kedua proses tersebut menghasilkan struktur
yang berbeda, dengan perbedaan posisi ikatan hidrogen, gaya van der Waals, stabilitas
serta kerapatan struktur yang dihasilkan [1].
Struktur Selulosa
Selulosa merupakan makromolekul, dideskripsikan oleh Bera, et.al. [5] sebagai makromolekul, polimer
dengan rantai tak bercabang dari β-(1-4)-glukosa, yang sangat sering ditemui
keberadaannya pada dinding sel jaringan dari tumbuhan (gambar 2). Selulosa
memiliki banyak variasi struktur berdasarkan proses sintesis serta gugus fungsi
yang menyertai dalam polimer glukosa, sebagai contoh gugus asetat dalam
selulosa asetat, gugus karboksilat dalam selulosa karboksilat. Dalam penentuan
struktur selulosa dengan derivatnya ditentukan melalui metode analisis dengan
dasar penggunaan sinar sinar-X, seperti difraksi sinar-X (XRD), X-Ray Synchontron (XRS), serta berbasis
mikroskopik seperti Scanning maupun Transmission Electron Microscopy (SEM,
TEM).
Gambar 2. Struktur selulosa [4], dikutip dengan
ijin The McGraw-Hill Companies (copyright 2004).
Gambar 3. Unit sel selulosa yang digambarkan
secara transformasi sederhana oleh Sponsler dan Dore (1926) dalam Zugenmaier [9],
dikutip dengan ijin Springer (copyright material 2008)
Struktur selulosa yang merupakan polisakarida
dengan rantai linier, memiliki struktur kristal yang berbeda dari hasil sintesis
secara kimia, biosintesis pada dinding sel tumbuhan (Iα) serta hasil
biosintesis oleh alga dan bacterial
cellulose pada dinding selnya (Iβ), sebagai contoh Acetobacter xylinum [6]. Sebelumnya Sponsler
dan Dore (1926), dalam Zugenmaier [9], menerangkan secara sederhana terkait kesamaan
struktur antara selulosa pada dinding sel dengan hasil biosintesis oleh
mikroalga maupun bakteri, dengan struktur yang tersaji pada gambar 3. Namun beberapa
ilmuwan lainnya memberikan justifikasi terkait antara perbedaan proses sintesis
dengan bentuk struktur yang berbeda. Iα memiliki fase kristal
satu-rantai triclinic dengan unit sel
P1, dengan panjang unit sel a =
6.717Å, b = 5.962 Å, c = 10.400 Å, sudut unit sel α = 118.08°,
β = 114.80°, dan γ = 80.37°. Iβ
memiliki fase kristal dua-rantai monoclinic
dengan unit sel P21, dengan panjang unit sel a = 7.784Å, b =
8.201 Å, c = 10.38 Å, sudut unit sel α = β = 90°, dan γ = 96.5°. Pada kedua fase
tersebut, secara keseluruhan selulosa Iα dan Iβ memiliki kesamaan yaitu adanya
ikatan hidrogen yang tertumpuk pada bagian atas dari tiap selulosa melalui
interaksi hidrofobik [6-8]. Melalui hasil analisa XRD, pada Iα
ditemukan lattice planes [1 0 0], [0 1
0], dan [1 1 0] yang menunjukkan struktur kristal triclinic, dan pada Iβ ditemukan lattice planes [1 -1 1], [1 1 0], dan [2 0 0] yang menunjukkan
struktur kristal monoclinic, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 4.
Gambar 4. Skema respresentatif suatu unit sel
dari (a) selulosa Iα dengan struktur kristal triclinic, dan (b) selulosa Iβ dengan struktur kristal monoclinic. Perbedaan struktur kristal
tersebut menujukkan adanya perbedaan ikatan hidrogen pada masing-masing turunan
selulosa [7-8], dikutip dan dimodifikasi dengan ijin InTech, Ltd. (copyright 2013).
Gambar 4 menunjukkan adanya ikatan hidrogen yang
berbeda pada struktur selulosa triclinic
pada Iα dan monoclinic pada
Iβ. Posisi ikatan hidrogen intra-
atau inter-chain dengan gugus
hidroksil sangat dimungkinkan berada di [1 1 0] pada struktur triclinic, dan [2 0 0] pada struktur monoclinic, yang sering disebut sebagai
ikatan hidrogen planar. Selain itu, selulosa juga ditemukan adanya interaksi
gaya kohesi dalam selulosa melalui gaya van der Waals, yang dimungkinkan berada
pada titik [0 1 0] dan [1 0 0] pada struktur triclinic, serta [1 1 0] dan [1 -1 0] pada struktur monoclinic.
Gambar 5. Perbedaan kerapatan selulosa Iα dan Iβ yang dimungkinkan adanya
perbedaan posisi ikatan hidrogen pada struktur yang triclinic dan monoclinic
[4-5]. Gambar ini disunting dan dimodifikasi dengan
ijin International Union of
Crystallography (copyright 2008), dan Springer (copyright 2008).
Perbedaaan struktur, kohesi gaya van der Waals,
serta posisi terjadinya ikatan hidrogen, memberikan properties yang berbeda antara selulosa Iα dan Iβ. Pada selulosa Iα, ikatan hidrogen
lemah yang tersedia pada struktur triclinic
lebih banyak dibandingkan pada selulosa Iβ dengan struktur monoclinic. Banyaknya ketersediaan
ikatan hidrogen lemah pada selulosa Iα menunjukkan tingkat
stabilitasnya lebih rendah daripada selulosa Iβ. Selain itu, keberlimpahan
ikatan hidrogen pada selulosa Iα menyebabkan tingkat tingkat
stabilitas termal yang rendah, mengingat ikatan gidrogen mudah terdegradasi
pada suhu rendah [7-8]. Beberapa hal tersebut tentunya mempengaruhi kerapatan
struktur selulosa yang dihasilkan (gambar 5). Melalui studi literatur tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa selulosa Iβ dengan struktur monoclinic yang dihasilkan dari proses
biosintesis oleh mikro-alga maupun bakteri, memiliki tingkat stabilitas fisik
dan termal yang lebih tinggi, sehingga lebih potensial diterapkan dalam
fabrikasi biomaterial berbasis selulosa pada aplikasi di bidang medis.
Pada proses fabrikasi selulosa, dalam
menghasilkan morfologi struktur yang diharapkan kerap kali dilakukan proses doping oleh senyawa lainnya, sebagai
contoh CA-TEC (cellulose acetat-triethyl
citrate). Zepnik, et.al.
melakukan eksperimen dengan prosedur fabrikasi tersebut dimulai dengan proses
penyaringan material awal CA dan TEC terlebih dahulu, kemudian dilakukan
penataan variasi komposisi dengan cara diinjeksikan TEC ke dalam CA sehingga
terjadi pelapisan TEC pada CA. Variasi komposisi yang digunakan mempengaruhi
morfologi struktur selulosa hasil fabrikasi (CA-TEC), sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 6.
Gambar 6. Pengaruh rasio ekspansi (atas) dan
morfologi (bawah) CA dengan variasi komposisi TEC (a) 15 wt %, (b) 20 wt %, dan
(c) 25 wt % [10], dikutip dengan ijin Multidisciplinary Digital Publishing
Institute (copyright 2013).
Morfologi CA (gambar 6) menunjukkan adanya
perbedaan yang cukup signifikan antara penggunaan TEC 20 wt % dengan 25 wt%,
yang mana penggunaan TEC lebih banyak menyebabkan terbentuknya pori-pori pada
CA lebih lebar. Hal tersebut tentunya mempengaruhi kekuatan polimer dan
viskositas dari polimer CA, yang mana penggunaan diatas 20 wt % dapat
menyebabkan penurunan tingkat viskositas dan kekuatan dari polimer CA. Sehingga
dalam penggunaan TEC dalam proses fabrikasi CA-TEC diperoleh konsentrasi
optimum 20%.
Aplikasi Selulosa di Bidang Biomedis
Substituen Pembuluh Darah Arteri Kecil
Penyakit arteosklerotis kardiovaskuler, atau
biasa disebut dengan penyakit jantung, merupakan penyebab kematian terbesar di
dunia. Beberapa upaya pengobatan penyakit tersebut, salah satunya melalui
operasi, telah dilakukan dengan cara mengganti pembuluh darah yang pecah dengan
serat sintetis. Beberapa bahan dasar yang digunakan yaitu berbasis PET (polyethylene terephthalate) yang disebut
Dacron, dan PTFE (polytetra-flouroethylene)
yang disebut Teflon [11]. Namun, kedua serat sintesis tersebut masih belum
diterima secara klinis dalam penerapan rekonstruksi pembuluh darah arteri
kecil, karena serat sintetis tersebut merupakan benda asing dan akan mengalami
penolakan yang ditandai dengan munculnya trombosis pada permukaan luminal yang
dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, sehingga darah tidak dapat
mengalir [12]. Dari kasus tersebut, maka dilakukan fabrikasi substituent
pembuluh darah arteri berbahan dasar selulosa yang biocompatible, lentur dan dapat menyesuaikan denyut nadi pembuluh
darah, tahan pada tekanan tinggi, struktur jaringan yang nanofibril, serta
serat tersebut mengandung air yang membuatnya fleksibel.
Gambar 7. Proses fabrikasi BC (bacterial cellulose) dalam bentuk
substituen pembuluh darah arteri [13], dikutip dengan ijin Elsevier (copyright
2009).
Fabrikasi substituen pembuluh darah arteri
berbasis selulosa dilakukan melalui proses biosintesis selulosa oleh bakteri Acetobacter xylinum dalam jumlah sedikit
dengan air sekitar 99%, selama beberapa hari. Bakteri tersebut mengekskresikan
sakarida dalam bentuk polimer menjadi selulosa dengan struktur yang lebih
teratur dan rapat dibandingkan hasil sintesis secara kimia. BC (Bacterial Cellulose) dalam bentuk
substituent pembuluh darah arteri dicetak dalam matriks melingkar yang diatur
dengan diameter dan panjang tertentu, menyesuaikan ukuran pembuluh darah arteri
yang akan disubsitusi dalam proses operasi, sebagaimana tersaji pada gambar 7.
Dalam pengaturan ruang substituent tersebut dapat menggunakan parafin, yang
setelah pemakaiannya dibilas dan dilakukan sterilisasi menggunakan NaOH
konsentrasi rendah, lalu ditempatkan pada autoclave
selama beberapa menit, yang akhirnya disimpan dalam Ringer’s solution untuk menjaga sterilitas BC tersebut hingga
digunakan dalam proses operasi [13].
Percobaan operasi substitusi pembuluh darah
arteri kecil dilakukan pada babi dengan prosedur yang dilakukan sesuai standar
yang disetujui oleh Animal Care and Use Committee
of the Friedriche - Schiller University, dengan analisa pasca operasi
terkait inflamasi kronis, respon sel terhadap BC substituen pembuluh darah
arteri, serta pertumbuhan sel serta perubahan diameter substituen. Selama
proses operasi substitusi pembuluh darah arteri kecil, tidak dilakukan prosedur
pre-treatment dan dilakukan proses
implantasi, sebagaimana tersaji pada gambar 8. Pasca operasi, babi dilepaskan
hidup hingga sekitar 3 bulan, kemudian dilakukan analisa medis pasca operasi
yang dipaparkan sebelumnya.
Gambar 8. Substitusi pembuluh darah arteri kecil
oleh BC transplantasi, yang telah terjahit dengan 7/0 monofilamen Prolene [13].
Struktur selulosa yang terbentuk memiliki kerapatan dan keteraturan yang tinggi
(dalam bentuk pembuluh darah arteri kecil) (inset), dikutip dan dimodifikasi
dengan ijin Elsevier (copyright 2009).
Hasil operasi pada beberapa babi sebagai
percobaan (hingga 3 bulan pasca operasi), tidak ada babi yang mati dikarenakan
mengalami kegagalan operasi serta adanya reaksi penolakan terhadap BC
transplantasi. Semua babi tetap hidup. Dari hasil analisa 3 bulan pasca
operasi, tidak ditemukan adanya penolakan, penyumbatan, serta kebocoran pada
polimer BC transplantasi, sehingga tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan
dari denyut aliran darah. Analisa secara histologi pada BC transplantasi yang
telah diimplantasi, tidak ditemukan adanya gumpalan dan pendarahan pada serat
selulosa maupun titik jahitan, serta tidak ada perbedaan signifikan dari
diameter BC transplantasi dari pra dan pasca operasi.
Gambar 9. Histologi BC graft 3 bulan pasca operasi, (a) arteri kontrol (tanpa implantasi
BC graft), (b) implantasi BC graft pada arteri, yang menunjukkan
infiltrasi limfosit secara halus (arah panah), dan (c) fragmen selulosa masih
terlihat, yang menunjukkan bahwa selulosa tidak terdegradasi pada organisme
manusia [13], dikutip dengan ijin Elsevier (copyright 2009).
Gambar 10. Pengamatan arteri terimplantasi
dengan BC graft dengan perbesaran (b)
16x, dan (c) 19x. Hampir tidak ditemukan perbedaan antara arteri terimplantasi
(b dan c) dengan (a) arteri kontrol [13], dikutip dengan ijin Elsevier
(copyright 2009).
Evaluasi dari hasil implantasi BC graft pada arteri yaitu tidak ditemukan
proliferasi pada sel terinfeksi, dan tidak terurai secara metabolisme pada
tubuh babi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 9. Selain itu, proses
endotelialisasi di dalam BC graft berjalan
secara halus (gambar 10), dan hampir tidak ada perbedaan dengan arteri kontrol
yang tidak dilakukan implantasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya
tanda-tanda trombosis pada arteri terimplantasi dan menunjukkan adanya
regenerasi sel in-situ dengan baik.
Berdasarkan data hasil analisa dan evaluasi tersebut, maka tingkat penerimaan
paten pada percobaan ini yaitu 87,5%.
Melalui hasil penerapan pada operasi bedah
implantasi arteri oleh BC graft
menujukkan bahwa selulosa sangat prospek sebagai substituen arteri untuk
mengobati penyakit jantung yang sering diakibatkan karena adanya pendarahan,
penyumbatan pembuluh darah, dengan proses yang lebih terpercaya dan dapat
dipertanggung jawabkan. Oleh karena itu, diperlukan penerapan lebih lanjut pada
organisme tubuh manusia untuk mengetahui dampak kesehatan secara realita hingga
pasca operasi.
Kesimpulan
Selulosa dapat
diperoleh dari berbagai proses sintesis, baik secara kimia, maupun secara
biologi, dengan dihasilkan variasi senyawa turunan selulosa dengan struktur dan
karakter yang berbeda. Namun berdasarkan penelusuran karakter masing-masing
derivat tersebut, selulosa Iβ atau kerap disebut bacterial cellulose (BC) memiliki
karakter paling potensial dengan kerapatan struktur tertinggi, kestabilan fisik
dan termal terkuat, serta memiliki elastisitas yang baik untuk aplikasi dalam
bidang medis. Pada aplikasi biomedis sebagai substituen pembuluh darah arteri,
selulosa jenis BC sangat aplikatif dikarenakan sifat materialnya yang
biokompatible, elastis, tidak menunjukkan adanya tolakan dari organisme sel,
serta keteraturan dan kerapan struktur yang tinggi. Dalam aplikasi lebih
lanjut, dapat dikembangkan penerapan pada organ tubuh mamalia serta manusia
sebagai biomaterial terbaru yang paling potensial sebagai subtituen pembuluh
darah dalam proses pembedahan.
Further Reading
- Ha, T. L. B., Quan, T.M., Vu, D. N., Si, D. M., “Naturally Derived Biomaterials : Preparation and Application”, Regenerative Medicine and Tissue Engineering, 2013, Chapter 11, 247-274.
- Tommila, M., Jokilammi, A., Penttinen, R., Ekholm, E., “Cellulose - A Biomaterial with Cell-Guiding Property”, Cellulose – Medical, Pharmaceutical and Electronic Applications, 2013, Chapter 5, 83-104.
- Peng, B. L., Dhar, N., Liu, H.L., Tam, K. C., “Chemistry and Applications of Nanocrystalline Cellulose and its Derivatives: a Nanotechnology Perspective”, Can. J. Chem. Eng., 2011, 9999, 1-16.
- Batich, C., Leamy, P., “Biopolymers”, Standard Handbook of Biomedical Engineering and Design, 2004, Chapter 11, 11.1-11.30.
- Bera, A.K., Bandyodhyay, S., Sen, S. K., Ghosh, S., Banerjee, A., “Structural Quality Assessment of Different Cellulosic Jute Fibres by X-Ray Diffraction”, Indian J., Fibre Textile Res., 2000, 27, 65-71.
- Wada, M., Nishiyama, Y., Chanzy, H., Forsyth, T., Langan, P., “The Structure of Celluloses”, JCPDS-International Centre for Diffraction Data, 2008, 11, 138-144.
- Quiroz-Castaňeda, R. E., Folch-Mallol, J. L., “Hydrolysis of Biomass Mediated by Cellulases for the Productions of Sugars”, Sustainable Degradation of Lignocellulosic Biomass - Techniques, Applications and Commercialization, 2013, Chapter 6, 6.1-6.18.
- Poletto, M., Pistor, V., Zattera, A. J., “Structural Characteristics and Thermal Properties of Native Cellulose”, Cellulose - Fundamental Aspects, 2013, Chapter 2, 2.1-2.13.
- Zugenmaier, P., “Crystalline Cellulose and Cellulose Derivates”, Springer : Series in Wood Science, 2008, Germany : pp. 1-281.
- Zepnik, S. Kabasci, S., Kopitzky, R., Radusch, H. J., Wodke, T., “Extensional Flow Properties of Externally Plasticized Cellulose Acetate: Influence of Plasticizer Content”, Polymer, 2013, 5, 873-889.
- Langer, R., Vacanti, J.P., “Tissue Engineering”, Sci., 1993, 260, 920-926.
- Voorhees, A.B., Jaretski, A., Blakemore, A.H., “The Use of Tubes Constructed from ‘Vinyon’ N Cloth in Bridging Arterial Defects”, Ann. Surg. 1952, 135, 332-336.
- Wippermann, J., Schumann, D., Klemm, D., Kosmehl, H., Salehi-Gelani, S., Wahlers, T., “Preliminary Results of Small Arterial Substitute Performed with a New Cylindrical Biomaterial Composed of Bacterial Cellulose”, Eur. J. Vasc. Endovasc. Surg., 2009, 37, 592-596.
Bacaan ringan dan singkat tentang selulosa, profi, metode sintesis yang berkembang, serta aplikasinya di bidang biomedis sebagai pengganti pembuluh darah arteri yang diuji cobakan pada babi.
BalasHapusSemoga bermanfaat.